Halaman

Jumat, 24 September 2010

FAKTA, Indonesia Maju Dengan HUTANG

Bookmark and Share

Urusan soal hutang Pemerintah, masyarakat terbagi dua: ada yang setuju asalkan keadaan ekonomi kita membaik, ada yang tidak setuju karena bisa membahayakan. 

Berbagai artikel ketidak setujuan maupun yang setuju terus bergulir di berbagai media cetak dan televisi. Saya teringat dengan perkataan seorang ahli dengan mengutip tokoh pengamat ekonomi dunia, yang secara tak langsung menyetujui peningkatan utang, bahwa diantara negara-negara yang paling dinamis ekonomi dan masyarakatnya, adalah negara-negara dengan hutang yang tinggi. Jadi memang perdebatan tidak akan selesai karena masing-masing memiliki argumentasinya sendiri.

Cara pikir masyarakat sangat sederhana: Pertama adalah dalam kerangka ke-kini-an apakah kondisi ekonomi bertambah baik? Kedua, kapan negara kita bakal bangkrut dan mengalami krisis ekonomi terhebat? Artinya, masyarakat menyadari adanya realita ekonomi yang menjadi ukuran dan itu tidak terbantahkan, tetapi juga masyarakat masih bisa berpikir panjang apakah nanti satu kali negara kita mengalami kehancuran karena hutang yang tidak bsia dibayar. Hutang is hutang! Hutang adalah proses resiko yang lebih besar. Jika tidak dikelola sesuai maksudnya atau salah perhitungan, pasti beban jangka panjang akan berat.


Selain penjelasan Pemerintah soal Hutang Luar Negeri yang beberapa waktu lau menjadi perdebatan panas di dalam negeri kita, kita perlu melihat catatan lain para ahli keuangan dan ekonom kita.


Tim Indonesia Bangkit, perhitungan utang Pemerintah ini sangat menyesatkan. Ichsanuddin Noorsy mengungkapkan jika dilihat dengan produk domestik bruto (PDB) secara persentase, utang luar negerui Indonesia menurun dari 56% menjadi 31%. Namun jika dilihat secara perkapita, beban utang meningkat dari Rp. 5.8 juta menjadi Rp. 7,7 juta per-orang pertahun. Jadi istilah utang kita menurun, jika dikaji dengan cara lain maka sebenarnya utang perkapita Indonesia justru meningkat hingga 32%. Sehingga beban masyarakat jelas lebih besar karena utangnya juga lebih besar, seru Abdul Malik. Pantas saja jika orang berkata bahwa kemajuan atau pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah karena hutang. Koq bisa gitu?


Sehingga Komisi Anti Utang berkata bahwa penyelesaian sekarang ini bukanlah dengan membuat hutang baru tetapi dengan keberanian politik para penyelenggara negara untuk bernegosiasi mendapatkan penghapusan hutang seperti yang didapatkan oleh Argentina, Nigeria, dan Ekuador. Tetapi memang harus diakui ide ini bukanlah tanpa resiko karena begitu kita mengusahakan penghapusan hutang, maka kita langsung dikategorikan sebagai negara miskin yang kemudian disusul dengan menurunnya kepercayaan lembaga keuangan dunia.


Jadi mungkin poin-nya adalah bagaimana menyeklesaikan hutang luar negeri kita tanpa membuat hutang hutang baru? Itu menjadi poin penting sekarang ini.


Sekalipun Pemerintah menyatakan bahwa rasio hutang Pemerintah menurun setiap tahun, bukan berarti total utang Pemerintah menurun. Penurunan rasio utang lebih banyak dipengaruhi oleh peningkatan PDB tiap tahun. Data Depkeu mencatat, sejak tahun 2000 sampai 2008 utang total pemerintah justru mengalami kenaikan, demikian Abdul Malik menegaskan. Rata-rata utang Pemerintah mengalami kenaikkan 84 triliun pertahunnya. Fakta inilah yang ditenggarai oleh para pengamat ekonomi di luar Pemerintah.


Ichsanuddin Noorsy mengatakan bahwa Bung Hatta telah memberi peringatan di maa lalu tentang hutang luar negeri. Hatta berkata bahwa hutang luar negeri dapat diterima sepanjang tidak mencampuri urusan politik dalam negeri, suku bunga murah, dan untuk jangka panjang 20-30 tahun.


Jadi memang tidak mengherankan bahwa ribut-ribut calon presiden, para ekonom memberikan tiga pandangan pengukur kepada para calon: sikapnya terhadap utang luar negeri, privatisasi dan liberalisasi perdagangan dan keuangan perbankan. Ketiga indikator ini yang dimainkan secara salah telah berakibat pada kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan.


Dari berbagai kajian menurut Noorsy, terutama dari American Journal of Sociology pada November 2002 menyebutkan, semua negara yang menerapkan neo-liberal akan mengalami tekanan neraca pembayaran dan mengakibatkan konflik sosial. Hal ini ditandai dengan inflasi tinggi dan permintaan kekuatan peranan pemerintah dalam belanja dan investasi sosial.


Bisakah Indonesia bertahan dan maju tanpa penambahan hutang luar negeri? Dicari calon presidennya!


Source/ref: CWS Kelapa Gading's Blog-Jun 2009

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More