Halaman

Senin, 30 Agustus 2010

Obat-Obatan dan Kematian Sang Raja POP

Bookmark and Share

 Perhatian warga di berbagai belahan dunia tersedot ke upacara penghormatan terakhir kepada ”Raja Pop” Michael Jackson yang dimakamkan, Selasa (7/7) di Forest Lawn, Los Angeles, Amerika Serikat. Hingga kini kematian Jackson masih menimbulkan spekulasi terkait penyalahgunaan obat-obatan.

Jackson meninggal secara mendadak pada 25 Juni lalu karena denyut jantung berhenti secara mendadak (sudden cardiac arrest). Dalam hasil otopsi tahap pertama, kepolisian Los Angeles menemukan beragam obat dalam tubuh Jackson dan di kediamannya, seperti meperidine dan hydrocodone, obat-obatan pereda sakit, memperkuat dugaan bahwa kematian bintang besar itu terkait penyalahgunaan obat.


Tim penyelidik juga menemukan obat penenang keras propofol di kediaman Jackson. Propofol biasa digunakan agar pasien tak sadarkan diri sebelum operasi besar. Meski bisa digunakan dalam dosis rendah untuk penenang, obat itu dilarang digunakan di rumah dan hanya boleh diberikan ahli anestesi.


Sebagaimana rumor seputar kehidupan dan karier Jackson, banyak hal tidak diketahui terkait kesehatan Sang Bintang. Kematiannya pun menimbulkan spekulasi kuat tentang peran para dokter yang merawat sang bintang dengan meresepkan obat-obatan secara berlebihan.


”Ketergantungan obat-obatan pereda sakit bisa mengganggu fungsi respirasi. Tingkat respirasi melamban hingga berhenti bernapas. Hal ini menyebabkan hipoksia atau kekurangan oksigen dalam darah,” kata dr Douglas Zipes, juru bicara the American College of Cardiology.


Menahun


Jackson punya sejarah panjang masalah kesehatan hingga mengalami ketergantungan obat-obatan bertahun-tahun sebagaimana dilansir sejumlah media. Pada tahun 1984 ia menjadi korban kebakaran ketika menyanyi untuk iklan minuman di Los Angeles dalam ledakan asap efek khusus. Akibatnya, ia harus dioperasi besar, dan sering nyeri sehingga mengalami ketergantungan obat-obatan pereda sakit.


Ia juga menderita lupus tahun 1980-an serta beberapa kali menjalani bedah plastik. Tahun 1993 dr Arnold Klein yang menangani masalah kulit Jackson menyatakan bahwa artis itu menderita vitiligo, penyakit kulit yang membuat seseorang kehilangan pigmen pembuat warna kulit, rambut, dan mata.


Jackson dirawat di rumah sakit karena nyeri dada tahun 1990 dan menunda konser karena dehidrasi pada Agustus 1993. Tur konser diperpendek pada November 1993 karena ia kecanduan obat keras penghilang nyeri ketika menghadapi tuntutan hukum kasus dugaan paedofilia.


Dalam proses persidangan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak pada Juni 2005, Jackson kembali dirawat di RS karena nyeri punggung.


Dr Deepak Chopra kepada CNN menyatakan, Jakson pernah meminta diresepkan narkotik pada tahun 2005 lalu.


Gangguan kesehatan, belitan masalah hukum, dan tuntutan untuk tampil prima pada Jackson dianggap sejumlah pihak memicu penggunaan obat-obatan secara kronik.


Ketergantungan

Hingga kini penyebab kematian Jackson belum diketahui secara pasti dan masih diselidiki kepolisian setempat. Namun, spekulasi seputar peran obat-obatan dalam kematian bintang besar itu

setidaknya mengingatkan kita untuk mewaspadai bahaya konsumsi obat secara sembarangan.


Selama ini jutaan orang di seluruh dunia terbiasa minum obat pereda sakit setiap kali menderita sakit kepala, sakit pinggang, nyeri otot, sakit gigi, dan penyakit yang menimbulkan nyeri lain.


Beberapa jenis obat pereda rasa sakit yang dijual bebas di pasaran adalah aspirin, ibuprofen, dan acetaminophen. Obat-obatan ini tidak mengandung bahan narkotik atau morfin sehingga tidak menyebabkan pasien kecanduan konsumsi obat itu.


Hal ini berbeda dengan jenis obat keras pereda rasa nyeri golongan narkotik, seperti meperidine, hydrocodone, dan hydromorphone hydroclorida. Menurut Armen Muchtar dari Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, obat golongan narkotik menyebabkan ketergantungan pada penggunanya.


”Bila mengonsumsi obat ini, gejala nyeri akan reda sehingga pasien akan merasa nyaman dan tenang,” ujarnya. Obat-obatan golongan narkotik itu memengaruhi reseptor di otak sehingga menimbulkan rasa euforia, ketenangan hati, tidak lagi gelisah sehingga pasien bisa istirahat.


Obat-obatan keras itu juga bisa digunakan oleh penderita depresi. Sebab, pasien yang terserang depresi akan merasa nyeri pada beberapa organ tubuhnya. Apalagi, di kalangan selebriti seperti Michael Jackson, yang dituntut selalu tampil prima di hadapan banyak orang, kebutuhan terhadap obat-obatan itu diperkirakan makin besar.


”Obat-obatan pereda sakit golongan narkotik bekerja pada sistem saraf pusat dengan menaikkan ambang rasa sakit,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Farmakologi Indonesia Prof Iwan Dwiprahasto.


Dampaknya, obat-obatan ini akan menekan sistem pernapasan sehingga bisa menimbulkan gangguan pernapasan bila digunakan secara berlebihan. Tekanan darah akan turun dan pernapasan melemah sehingga akhirnya pasien berisiko tinggi mengalami kolaps pada sirkulasi darah dan terjadi henti jantung secara mendadak.


Hal ini terjadi apabila pasien diberi dosis terlalu tinggi atau jika pasien diberi beberapa jenis obat pereda rasa sakit golongan narkotik sekaligus. ”Karena efek obat ini sangat keras, obat-obatan golongan narkotik ini tidak dijual bebas di pasaran, penggunaannya juga diawasi secara ketat,” kata Iwan.


Mengingat obat-obatan keras itu bersifat adiktif, pemakaiannya hanya boleh dalam jangka pendek. Apabila dikonsumsi dalam jangka panjang, dapat menimbulkan kecanduan dan membahayakan keselamatan jiwa pasien. Itu karena ambang sakit pada pasien akan makin tinggi sehingga dosisnya akan terus dinaikkan. Dalam praktik, obat-obatan itu tidak diberikan kepada pasien rawat jalan.


Risiko kesehatan


Belakangan pemakaian obat pereda rasa nyeri bukan golongan narkotik juga mulai diperketat. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), semua obat anti inflamasi atau pereda nyeri berisiko menimbulkan gangguan pencernaan, kardiovaskular, dan reaksi pada kulit. Karena itu, FDA meminta semua produsen obat itu mencantumkan peringatan tentang risiko itu pada label produknya.


Hal ini diperkuat oleh hasil studi yang dipublikasikan dalam jurnal The Archives of Internal Medicine. Dalam hasil studi yang dilakukan para peneliti dari Brigham and Women’s Hospital, Boston, AS, obat-obatan pereda rasa nyeri itu meningkatkan tekanan darah dan risiko penyakit jantung, terutama pada pria. Jadi, pria yang mengonsumsi obat penghilang sakit setiap hari selama seminggu akan terkena tekanan darah tinggi.


Dalam studi itu, sekitar 16.000 pria diamati riwayat kesehatan mereka. Mereka yang mengonsumsi parasetamol 6-7 kali dalam seminggu tekanan darahnya lebih tinggi daripada mereka yang bebas obat. Obat anti peradangan nonsteroid (NSAIDS), seperti ibuprofen dan naproxen, risikonya naik 38 persen. Adapun pria yang minum pil NSAIDS 15 butir dalam seminggu risikonya 48 persen terkena hipertensi.


Obat-obatan itu memengaruhi kemampuan pembuluh darah melebar serta menyebabkan sodium retention, faktor yang meningkatkan tekanan darah. Karena itu, masyarakat perlu berhati-hati dalam mengonsumsi obat-obatan, termasuk untuk meredakan rasa sakit.


Source/ref: kompas.com - jul 2009

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More